Resensi Buku

Akar Historis Islam Politik

Judul: ISLAM POLITIK: Sebuah Analisis Marxis
Penulis: Deepa Kumar
Penerbit: Resist Book
Halaman: 74 halaman

Ada fenomena yang sedang marak dalam beberapa dekade ke belakang di dunia politik. Fenomena itu adalah bangkitnya gerakan islam politik. Topik ini menjadi salah satu fokus utama diskusi akademis akhir-akhir ini. Sehingga lahirlah berbagai karya akademis sebagai suatu bentuk analisa terhadap gerakan ini. Salah satunya adalah analisa yang dilakukan oleh Deepa Kumar.

Deepa Kumar adalah Associate Professor di Rutgers University dalam bidang Studi Media dan Kajian Timur Tengah. Salah satu karya akademisnya adalah buku Islam Politik: Sebuah Analisis Marxis. Terbit pertama kali dengan judul Political Islam: A Marxist Analysis dalam International Socialist Review. Suatu sumbangsih berarti dalam upaya memahami gerakan Islam Politik. Terlebih lagi perspektif yang digunakan adalah perspektif Marxis.

Buku ini walaupun tipis isinya benar-benar padat. Telaah Kumar terhadap gerakan Islam Politik dituliskannya dengan sangat baik, ringkas, jelas, dan gamblang. Dalam buku terbitan Resist Book ini diawali dengan kata pengantar dari Coen Husain Pontoh berisi pembahasan mengenai analisa materialisme dalam sejarah dan penilaiannya terhadap buku ini.

Diskusi mengenai Islam Politik menjadi begitu marak terlebih dikarenakan peristiwa 9/11 di Amerika Serikat (AS). Peristiwa ini kerap kali dikaitkan dengan Islam. Kejadian ini juga mendorong pemerintah AS untuk menyatakan “perang melawan teror”. Wacana yang ketimbang melawan teror dan melindungi masyarakat justru lebih condong pada perang melawan kepentingan lain yang bertentangan dengan pemerintah AS.

9/11 tidak hanya mempengaruhi situasi sosial politik AS tetapi juga seluruh dunia. Tidak hanya di ranah sosial politik, 9/11 ikut meramaikan diskusi akademis dan memancing banyak akademisi untuk menganalisanya. Pendapat yang umumnya berkembang adalah pendapat yang menempatkan Barat sebagai pahlawan. Barat dicitrakan dengan demokratisme yang harus memerangi Islam. Islam sebagai tertuduh atas peristiwa ini dianggap terbelakang dan berusaha mengacaukan upaya Barat membangun demokrasi. Pandangan ini lahir dari sejumlah Akademisi konservatif orientalis yang berusaha mempertahankan hegemoni Barat atas peradaban lainnya, dalam kasus ini peradaban Islam. Argumen ini tidak hanya dalam dunia akademis tetapi juga berkembang menjadi suatu pengetahuan umum masyarakat AS (hal. 1).

Berangkat dari sinilah Deepa Kumar melakukan analisanya. Analisa yang dilakukan dengan “membedah” Islam Politik menggunakan “pisau” materialisme historis. Setiap pihak sesuai dengan kedudukannya dalam sejarah untuk menjelaskan asal mula fenomena ini. Menyingkirkan dominasi Barat atas pandangan umum mengenai Islam Politik. Islam Politik juga tidak dianggap semata-mata hasil alami perkembangan Islam melainkan terbentuk melalui proses historisnya. Begitu juga dengan pemisahan de facto agama dan politik pada masyarakat Muslim (hal. 2).

Deepa Kumar memulai dengan suatu penjabaran secukupnya mengenai garis besar isi tulisannya ini. Penjelasan yang akan ia gunakan dalam bagian selanjutnya adalah pengaruh AS, nasionalisme sekuler, dan partai kiri di Timur Tengah. Bagaimanakah semua itu berperan dalam membentuk apa yang kita kenal sebagai islam politik di masa kini? Ia juga memberi penawaran terhadap kaum Marxis untuk menempatkan diri di tengah diskursus islam politik. Sebelum memasuki analisa lebih mendalam dijelaskan terlebih dahulu definisi islam politik yang digunakan dalam karya ini. Islam politik sebagai jajaran kelompok yang telah terbentuk berdasarkan sebuah reinterpretasi atau penafsiran kembali Islam untuk melayani tujuan-tujuan politik secara khusus (hal. 3).

Gerakan islam politik diamati dengan terlebih dahulu melihat pemisahan agama dan politik dalam Islam berdasarkan penelusuran historisnya. Dimulai dari munculnya agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad dan tindakah politik Nabi Muhammad. Dilanjutkan dengan masa kekhalifahan dan mulai munculnya pemisahan agama dan politik secara de facto. De facto dikarenakan tidak adanya pemisahan yang formal antara kedua hal tersebut. Penyebabnya tidak adanya momentum pertentangan negara dan agama selayaknya peradaban Kristen. Adanya pemisahan ini ditandai dengan adanya praktik pelaksanaannya. Di dalam masyarakat Muslim tersebut mulai terbentuk kelas-kelas tertentu sesuai prinsip pembagian kerja. Muncul suatu kelas yang bertugas di bidang dan politik dan kelas ulama yang mengatur agama. Kedua kelas ini bersinergi dalam kekhalifahan.

Di era di mana kapitalisme mulai menyebar, Islam juga terpengaruh. Terjadilah reformasi dan modernisasi di dalam tubuh Islam sebagai respon atas fenomena tersebut. Selain itu lahir pula kelas baru yaitu kelas intelektual sekuler hasil didikan Barat. Modernisasi terjadi di masyarakat monarki Timur Tengah seperti Turki, Mesir, dan Iran. Di Mesir modernisasi dipelopori Mehmet Ali di pertengahan abad 19. Kesuksesan terjadi di Turki yang menjadi republik pertama di Timur Tengah. Kemal Attaturk menjadi tokoh sentral dalam modernisasi Islam di Turki. Lebih lanjut lagi, pada 1924 sistem khalifah dihapuskan di Turki. Berganti dengan republik yang sekuler.

Di sisi lain terdapat kelompok revivalis yang berusaha “kembali ke Islam” di tengah merebaknya sekularitas pada masyarakat Muslim. Mereka melihat kembali komunitas Muslim awal sebagai acuan. Gerakan Islam revivalis mengarahkan gerakan mereka pada Alquran dan hadis. Membedakan mereka dengan gerakan Islam lain yang condong pada modernisasi dan sekularisasi.

Tokoh-tokoh kunci dari gerakan ini adalah Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashid Ridha. Pergerakan yang mereka ajarkan bertumpu pada Salafiyah atau mengacu pada komunitsa Muslim awal di era Nabi Muhammad. Pada 1928, Hassan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) di Mesir. Sementara itu di India Sayyid, Abul Ala Maududi menjadi pelopor gerakan revivalis dan mendirikan Jama’ah Al Islamiyah. Gerakan Islam revivalis juga turut memperjuangkan pembebasan dari penjajah namun menolak bentuk negara yang dianggap berkiblat ke Barat. Islam dianggap memiliki nilai praksis sendiri yang sudah cukup diterapkan tanpa mengikuti gaya Barat. Dalam pelaksanaan negara, Alquran dijadikan sebagai undang-undang dasar.

Meski marak dan menyebar sampai ke negara-negara Muslim lainnya, gerakan ini dianggap gagal. Kecenderungan masyarakat Muslim terhadap modernisasi membuat nasionalisme sekuler lebih laku. Al-Afghani dianggap tidak berhasil mewujudkan cita-citanya membangun Pan-Islamisme. Setelah Perang Dunia II, generasi baru yang kecewa dengan generasi lama beralih pada nasionalisme radikal. Terlebih lagi negara-negara Arab juga gagal membendung terbentuknya negara Israel. Hasilnya adalah jayanya nasionalisme radikal, terutama di Mesir dipimpin Gamal Abdul Nasser dengan jargon “sosialisme Arab”.

Nasser menjadikan Mesir negara sekuler. Pergerakan seperti Ikhwanul Muslimin dihentikan dan bahkan beberapa elit dipenjarakan. Pemisahan antara negara dan agama menjadi tegas di era Nasser. Sampai pada 1970-an nasionalisme radikal juga mengalami keruntuhannya. Momentum ini dimanfaatkan islam politik untuk bangkit kembali.

Pergerakan dari islam politik ini sendiri memiliki hubungan dengan AS. Sebagai upaya menyingkirkan pengaruh komunisme dan nasionalisme di Arab, AS menggunakan islam politik. AS memainkan peranan penting untuk menguatkan islam politik di berbagai negara seperti Saudi Arabia, Afghanistan, dan Iran. Hal ini seperti memberi bantuan dana pada Ikhwanul Muslimin, memanfaatkan Liga Muslim Dunia, dan membantu Revolusi Iran melalui Ayatollah Abolqassem Kashani.

Di luar itu bangkitnya islam politik semakin menjadi-jadi dengan krisis ekonomi dan basis kelas islamisme. Masyarakat Muslim terlalu bertumpu pada kelas menengah di bawah dukungan kaum borjuis. Krisis ekonomi juga menjadi kesempatan bagi IMF untuk menancapkan cakar imperialismenya. Dalam kondisi ini, partai-partai kiri sayangnya tidak bisa memanfaatkan kondisi yang ada untuk segera mengambil kendali.

Di akhir, Kumar menjelaskan bagaimana seharusnya partai-partai kiri bergerak. Menyesuaikan dengan pergerakan lain untuk menyingkirkan imperialisme di negara-negara Islam. Partai kiri seharusnya mampu memanfaatkan momentum untuk membentuk pergerakan dan jika perlu menggandeng pihak lain, seperti kubu nasionalis. Pergerakan harus dilakukan untuk menyaingi pihak populis kanan.

_______________
Karunia Haganta
Mahasiswa di Jakarta
dapat dihubungi di karunia.haganta@gmail.com

 

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?